Header Ads

4.1 Apa yang anda ketahui tentang demokrasi digital


Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.  Sedangkan arti kata dari digital merupakan penggambaran dari suatu keadaan bilangan yang terdiri dari angka 0 dan 1 atau off dan on (bilangan biner), semua sistem komputer menggunakan sistem digital sebagai basis datanya. Jadi, demokrasi digital merupakan bagian integral dari diskusi mengenai masyarakat digital (digital society).

Depolitisasi kaum muda dalam politik praktis, bukanlah ikhtiar kaum muda sendiri. Ruang digital merupakan arena tak bertuan. Siapapun dapat berjejaring dan berpendapat tanpa dikendalikan oleh kekuatan politik tertentu. Nuansa aktualisasi diri dan sensasi otonomi diri merupakan barang mahal yang tidak tersedia dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari. Barang mahal ini tersedia secara gratis dalam dalam dunia siber melalui YouTube, Twitter, blog, dan website. Daya tarik dunia baru ini merupakan respon terhadap defisit politik pengakuan dan advokasi terhadap keagenan publik kaum muda dalam politik praktis. Dibesarkan dalam budaya politik warisan Orde baru, kaum muda ditindas pedagogi moral yang abstrak, hitam dan putih, dan sarat dengan prasangka agama, ras dan etnis. Kurikulum pendidikan diaanggap tidak membebaskan, didasarkan pada asumsi tersirat bahwa kaum muda adalah sumber masalah, makhluk transgresi, yang patut dikontrol dan dikendalikan akhlak dan perilakunya. Demikian juga halnya mereka selalu bertemu dengan ajakan menghayati nilai-nilai luhur ketimuran dan cinta tanah air persis dalam situasi orang tua, para guru-dosen, pejabat dan politisi merampas kesempatan mereka menjadi cerdas, multikultural dan global. Paradoks inilah yang mendorong kaum muda melakukan serangan balik berupa pelabelan, adekdot, dan sentilan kritis terhadap tokoh agama, pejabat, politisi dan intelektual publik dalam ruang siber. Situasi tersebut tentu ada baiknya tetapi rupanya belum mendorong perlawanan dan gerakan kaum muda dalam politik praktis.

          Pembajakan dunia siber oleh elit oportunis, sudah menjadi perilaku politik yang lumrah dalam beberapa tahun terakhir. Ruang siber berlaku sebagai teater akrobatik bagi para politisi dan pejabat. Alih-alih bekerja keras mencegah masalah, isu-isu publik yang dikemukan pegiat dunia siber direspon dan dibajak untuk menunjukkan kinerjanya yang responsif terhadap tuntutan publik. Terlepas dari mitos pelayanan publik secara digital, fenomena ini lebih banyak bercerita tentang sikap dan perilaku oportunis birokrasi, parlemen dan partai politik kita. Oportunisme ini juga dirasa kian penting untuk menjatuhkan rejim yang berkuasa atau sebaliknya menistakan lawan-lawan politiknya. Kondisi kedua yang melahirkan oportunisme ini adalah krisis representasi politik. Demokrasi digital lebih banyak mendatangkan manfaat bagi petualang politik ketimbang arena belajar demokrasi untuk mengubah dan sikap oportunisme politik.

Normalisasi konflik elit dan eskalasi politik identitas, belakangan ini merupakan gejala dunia siber yang mengkwatirkan bagi demokrasi Indonesia. Alih-alih menguncang struktur politik yang oligarkis, demokrasi digital ikut memperkuat wacana politik elit dengan terus menerus membicarakan skandal aktor politik atau sengitnya konspirasi merebut dan menjatuhkan kekuasaan. Persoalan korupsi, konflik internal partai, dan pertarungan pilkadal/pemilu senantiasa dibahas dalam koridor terbatas pada sensasi moral, popularitas dan pencitraan elit politik. Banalitas politik diperbincangkan sedemikian rupa sampai pada titik elit merasa perlu untuk terus melakukan pencitraan baik di media sosial maupun media massa. Kontestasi pencitraan berlangsung tanpa aturan dan tim sukses termasuk simpatisan menjadikan dunia siber sebagai medan perang untuk agitasi, provokasi dan mobilisasi.

Pengalaman demokrasi digital dari berbagai kawasan di dunia dan Indonesia memberi sinyal yang kuat bahwa ruang siber ini berlaku sebagai ajang pertarungan kepentingan globalist neoliberal, oligarki nasional dan ideologi fundamentalis baik dari kubu liberal-progresif maupun kubu fundamentalisme identitas budaya seperti agama, suku dan ras.Bertolak dari pengalaman Indonesia sendiri, kita mencatat dua kecenderungan yang terus bertarung. Pertama, kecenderungan ruang siber sebagai arena resistensi dan aktualisasi diri warga digital khususnya kaum muda. Pemanfaatan ruang siber ini sebagai respon terhadap ketersediaan pelbagai unsur pembentuk kapabilitas dan keahlian untuk membentuk otonomi diri, berjejaring dan pergerakan. Juga sebagai respon terhadap krisis representasi politik dalam dunia nyata yang membatalkan peluang kaum muda cerdas dan kreatif masuk dalam pemerintahan dan partai politik. Kedua, kecenderungan ruang siber menjadi arena depolitisasi. Dalam arti ruang siber berlaku sebagai alternatif bagi demokrasi formal dan membatalkan partisipasi politik aktif warga digital sebagai warga negara dalam politik praktis. Hal ini diperparah oleh oligarki politik yang membajak ruang siber dan menguatnya politik identitas dalam ruang tersebut. Kedua, kecenderungan ruang siber menjadi arena depolitisasi. Dalam arti ruang siber berlaku sebagai alternatif bagi demokrasi formal dan membatalkan partisipasi politik aktif warga digital sebagai warga negara dalam politik praktis.


Sumber:


Brown, Wendy. Regulating Aversion: Tolerance in the Age of Identity and Empire. Princenton: Princenton University Press, 2006

Edward, David. The Guardian of Power: Myth of The Liberal Media. London: Pluto Press, 2006

Fuchs, Christian. Critique, Social Media and the Information Society. New York: London, 2014

Graham, Gordon. Internet: A Philosophical Inquiry. London Routledge, 1999

Howard, Philip. Digital Origins of Totalitarianism and Democracy: Information Technology and Political Islam. New York: Oxford University Press, 2010

Negri, Antonio & Michael Hardt. Multitude: War and Democracy in the Age of Empire. New York: Penguin Press, 2004
—————– Empire. Cambridge: Harvard University Press, 2000

Karatzogianni, Athina. Cyber Conflict and Global Politics. New York: Routledge, 2009

Luke Timothy. “Digital Citizenship”, dalam Philip Kalanzis-Cope (ed.), Emerging Digital Space in Contemporary Society. New York: Palgrave MacMillan, 2010.

Mouffe, Chantal. “The Importance of Enganging the State”, dalam Jonathan Pugh (ed.), What is Radical Politics Today?. New York: Palgrave MacMillan, 2009



Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.